Beranda | Artikel
Keutamaan Orang Miskin yang Sabar(1)
Sabtu, 18 April 2020

KEUTAMAAN ORANG MISKIN YANG SABAR

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله 

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

إِنَّ الْـحَمْدَ لِلهِ نَـحْمَدُهُ وَنَسْتَـعِيْنُهُ وَنَسْتَغْـفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّـئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَاإِلٰـهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَـهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُـهُ. اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ.

Segala puji bagi Allah, kami memuji-Nya, memohonpertolongan dan ampunan kepada-Nya, kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan kejelekan amalan-amalan kami. Siapa yang Allah beri petunjuk, maka tidakada yang dapat menyesatkannya dan siapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk.

Aku bersaksi bahwa tidak ada ilah yang berhak diibadahidengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan Allah.

Alhamdulillaah, segala puji bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga kepada keluarga dan para Shahabatnya رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ أَجْمَعِيْنَ.

Miskin dan kaya keduanya sama-sama merupakan cobaan dan ujian bagi seorang hamba. Orang yang miskin diuji dengan kefakirannya, apakah ia dapat bersabar ataukah tidak. Sementara orang kaya diuji dengan kekayaannya, apakah ia dapat bersyukur, ataukah kufur terhadap nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

قَالَ هَٰذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّي لِيَبْلُوَنِي أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ ۖ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ

“…Dia (Sulaiman) pun berkata, “Ini termasuk karunia Rabb-ku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (nikmat-Nya). Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barangsiapa ingkar, maka sesungguhnya Rabb-ku Mahakaya, Mahamulia.” [An-Naml/27: 40]

Allah Ta’ala juga berfirman,

فَأَمَّا الْإِنْسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ ﴿١٥﴾ وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ ﴿١٦﴾ كَلَّا ۖ بَلْ لَا تُكْرِمُونَ الْيَتِيمَ

Maka adapun manusia, apabila Rabb-nya mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata, ’Rabb-ku telah memuliakanku.’ Namun apabila Rabb-nya mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, ’Rabb-ku telah menghinakanku. Sekali-kali tidak!...’”[Al-Fajr/89:15-17]

Renungkanlah ayat di atas! Apakah benar bahwa setiap orang yang diberikan harta berarti Allah Ta’ala memuliakannya, sedangkan orang yang disempitkan hartanya berarti dihinakan oleh Allah??

Sebenarnya tidak demikian, yang benar bahwa kemuliaan seorang hamba yang sesungguhnya yaitu dengan dia beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan mentauhidkan-Nya dan taat kepada-Nya. Dan sebaliknya, kehinaan yang sebenarnya yaitu jika seorang hamba tidak beribadah kepada  Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak taat kepada-Nya, serta banyak berbuat dosa dan maksiat.

Setelah kita mengetahui ayat tersebut, maka baik kekayaan maupun  kemiskinan sama-sama ujian dari Allah Ta’ala. Dan yang paling beruntung di antara mereka adalah yang bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan mentauhidkan Allah dan menjauhkan syirik, serta benar dalam melaksanakan ibadah kepada-Nya. Orang kaya beribadah dengan cara bersyukur, artinya dia melaksanakan perintah Allah Ta’ala dan menjauhi larangan-larangan-Nya, menggunakan harta dan kekayaannya dalam rangka melaksanakan ketaatan kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam, menuntut ilmu, melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, sedekah, membantu sanak kerabat yang miskin dan papa, menolong fakir miskin dan orang-orang yang susah, memberikan makan kepada orang-orang yang lapar dan membutuhkan, meminjamkan harta kepada orang-orang yang kesulitan, melaksanakan ibadah haji, umrah, dan ibadah-ibadah lainnya. Dan orang miskin beribadah dengan cara bersabar atas apa yang menimpanya. Artinya dia sabar atas kefakiran dan kemiskinan yang telah ditakdirkan oleh Allah Ta’ala, tetapi dia tetap berusaha mencari nafkah dengan sungguh-sungguh dan dia senantiasa mensyukuri nikmat Allah yang dikaruniakan kepadanya, merasa puas dan cukup dengan apa yang Allah karuniakan. Meskipun rezekinya pas-pasan, ia tetap bersyukur serta melaksanakan ibadah-ibadah yang wajib dan sunnah, dan berdoa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Kedua perkara ini, yaitu syukur dan sabar terkumpul dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ: إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ.

Sangat menakjubkan urusan seorang Mukmin itu. Sungguh, semua urusannya adalah kebaikan baginya, dan hal ini tidak terjadi, melainkan pada seorang Mukmin. Apabila mendapat kegembiraan, ia bersyukur dan itu merupakan kebaikan baginya. Dan apabila mendapat kesusahan, ia bersabar dan itu merupakan kebaikan baginya.”[1]

Para ulama berbeda pendapat mana yang lebih afdhal (utama) : orang kaya yang bersyukur ataukah orang miskin yang bersabar atas apa yang menimpanya??

Pertanyaan ini pernah ditanyakan kepada Ibnul Qayyim rahimahullah, beliau bertanya kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah lalu beliau memberikan jawaban yang menenangkan hati yaitu yang paling afdhal di antara mereka ialah yang paling takwa kepada Allah. Jika keduanya sama dalam ketakwaannya maka sama pula derajat keduanya. Wallaahu A’lam.[2]

Oleh karena itu, yang kita pahami atau menjadi ibrah (pelajaran) dalam masalah ini ialah bagaimana seorang Muslim mewujudkan ibadah hanya kepada Allah, mentauhidkan Allah dan menjaukan syirik, melaksanakan ketaatan kepada Allah, bertakwa kepada-Nya. Karena kemuliaan manusia di sisi Allah yaitu dengan takwa kepada-Nya, apakah dia orang kaya atau dia orang miskin, semua wajib ibadah kepada Allah, Allah Azza wa Jalla berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.Sungguh, Allah Mahamengetahui, Mahateliti.” [Al-Hujuraat/49:13]

Jadi orang yang mulia di sisi Allah Ta’ala adalah orang yang bertakwa, apakah dia orang kaya atau dia orang miskin. Dan yang perlu diingat bahwa dalam hidup dan kehidupan manusia mesti ada orang kaya dan orang miskin. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan demikian di dalam Al-Qur-an. Akan tetapi, kita tidak tahu apakah seorang yang miskin itu sudah ditakdirkan demikian selama-lamanya?! Betapa banyak orang yang tadinya fakir dan miskin, kemudian setelah dia ikhtiar, berusaha, dan berdoa, diberikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala rezeki yang melimpah ruah. Demikian juga sebaliknya betapa banyak orang yang tadinya kaya raya, kemudian perusahaannya bangkrut, lengser dari jabatannya, atau mengalami krisis dalam usahanya, atau perdagangannya rugi, kemudian dengan hal tersebut mendadak menjadi miskin, bahkan mempunyai hutang yang banyak. Ini adalah kehidupan, terkadang orang di atas terkadang dibawah, terkadang untung terkadang rugi, terkadang menang dan terkadang kalah. Hari-hari itu berputar diantara manusia. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

وَتِلْكَ الْأَيَّامُ نُدَاوِلُهَا بَيْنَ النَّاسِ

 “…Hari-hariituKami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran)…” [Ali-‘Imraan/3:140]

Dan seandainya  seseorang sudah  berusaha dengan maksimal untuk mencapai taraf hidup yang layak, akan tetapi dia tetap saja fakir miskin, maka dia harus berusaha bagaimana menjadi orang miskin yang sabar dan bersyukur. Allahul Musta’aan wa ‘alaihit Tuklaan (Hanya kepada Allah saja kita memohon pertolongan dan hanya kepada-Nya kita tawakkal).

PENGERTIAN FAKIR DAN MISKIN
Menurutbahasa, (اَلْفَقِيْرُ) fakir ialah orang yang membutuhkan. Dan (اَلْمِسْكِيْنُ) miskin ialah orang yang hina dan lemah.[3]

Ibnu Hazm rahimahullah (wafat th. 456 H) mengatakan, “Bahwa fuqaraa’ (jama’ dari fakir) mereka adalah yang tidak mempunyai sesuatu pun sama sekali, sedangkan masaakiin (jama’ dari miskin) mereka adalah orang-orang yang mempunyai sesuatu tapi tidak mencukupi kebutuhannya.[4]

Lafazh (penamaan) fakir dan miskin apabila disebutkan secara mutlak masing-masing, misalnya lafazh Fakir, maka masuk di dalamnya miskin. Apabila disebut miskin, maka masuk di dalamnya fakir. Dan apabila disebut secara bersamaan lafazh fakir dan miskin, maka maknanya berbeda.[5] Seperti kalimat Islam dan Iman.

Orang-orang miskin adalah orang yang hidupnya tidak berkecukupan, tidak punya kepandaian untuk  mencukupi kebutuhannya, tidak ada yang tahu bahwa dia miskin, dan dia tidak mau meminta-minta kepada manusia. Pengertian ini sesuai dengan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَيْـسَ الْمِسْكِيْنُ بِهٰذَا الطَّوَّافِ الَّذِي يَطُوْفُ عَلَى النَّاسِ، فَتَـرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ. قَالُـوْا : فَمَا الْمِسْكِيْنُ ، يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: الَّذِيْ لَا يَـجِدُ غِنًى يُغْنِيْهِ وَلَا يُفْطَنُ لَهُ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ، وَلَا يَسْأَلُ النَّاسَ شَيْئًا.

Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling minta-minta kepada orang lain agar diberikan sesuap dan dua suap makanan dan satu-dua butir kurma.” Para Shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Beliau menjawab, “Mereka ialah orang yang hidupnya tidak berkecukupan, dan tidak ada yang menyadari (kemiskinannya) sehingga tidak ada yang memberinya sedekah (zakat), dan mereka tidak mau minta-minta sesuatu pun kepada orang lain.”[6]

Orang miskin yang tidak minta-minta yang lebih kita utamakan untuk diberikan zakat dan sedekah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ أُحْصِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ لَا يَسْتَطِيعُونَ ضَرْبًا فِي الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيمَاهُمْ لَا يَسْأَلُونَ النَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنْفِقُوا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيمٌ

“(Apa yang kamu infakkan) adalah untuk orang-orang fakir yang terhalang (usahanya karena jihad) di jalan Allah sehingga dia tidak dapat berusaha di bumi; (orang lain) yang tidak tahu, menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta secara paksa kepada orang lain. Apa pun harta yang baik yang kamu infakkan, sungguh, Allah Maha Mengetahui.” [Al-Baqarah/2: 273]

Syaikh ’Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, ”Maksudnya, sudah selayaknya kalian mencari fakir miskin untuk kalian berikan sedekah kepadanya, mereka adalah orang-orang yang terhalang dirinya dari melakukan jihad di jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan senantiasa taat kepada-Nya, dan mereka tidak memiliki (jalan untuk mewujudkan) kehendak mencari nafkah, atau malah mereka tidak memiliki kemampuan untuk bekerja, sedang mereka menahan/menjaga diri dari meminta-minta, yang bila mereka dilihat oleh orang-orang bodoh, maka pastilah mereka akan menduga (menyangka) bahwa mereka orang kaya, karena mereka tidak minta-minta secara umum, dan bila mereka harus meminta, mereka meminta karena sangat terpaksa, mereka tidak memaksa dalam memintanya. Inilah golongan dari fakir miskin yang lebih afdhal (utama) kalian memberikan infak untuk memenuhi kebutuhan mereka, membantu mereka kepada maksud dan tujuan mereka dan kepada jalan kebaikan, dan sebagai rasa terima kasih kepada mereka atas sifat sabar yang mereka miliki, serta (kuatnya) harapan mereka hanya kepada Allah Maha Pencipta, bukan kepada makhluk. Walaupun demikian, berinfak dalam segala jalan kebaikan dan menutupi semua kebutuhan di mana saja, maka semua itu adalah kebaikan, dan pahala serta ganjarannya ada di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[7]

KEUTAMAAN ORANG MISKIN YANG SABAR
Jangan bersedih dan jangan berduka cita jika Anda ditakdirkan menjadi orang fakir miskin dan jangan dulu senang jika ditakdirkan menjadi orang kaya. Miskin dan kaya bukan ukuran seseorang hina atau mulia. Lebih baik menjadi orang yang miskin harta, tetapi kaya hati. Daripada kaya harta, tetapi miskin hati dengan minimnya iman dan amal shalih. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ.

“(Hakikat) kaya  bukanlah dengan banyaknya harta benda. Namun kaya (yang sebenarnya) adalah kaya hati (merasa ridha dan cukup dengan rezeki yang dikaruniakan).”[8]

Al-Hafizh Ibnu Hajar  rahimahullah (wafat th. 852 H) berkata, “Orang yang disifati dengan kaya hati yaitu orang yang merasa cukup atas apa yang telah Allah rezekikan kepadanya, tidak tamak dalam menambah harta tanpa ada kebutuhan, dan tidak meminta-minta. Tetapi dia ridha terhadap apa yang Allah berikan kepadanya, seakan-akan ia orang yang punya (kaya) selamanya.

Sedangkan orang yang disifati dengan miskin hati yaitu lawannya, tidak merasa cukup atas apa yang Allah beri kepadanya, bahkan ia selalu meminta lebih dengan segala cara yang mungkin dilakukan. Lalu jika ia tidak dapat apa yang diminta, lantas bersedih dan menyesal, seakan-akan ia orang fakir harta dan tidak kaya, karena tidak merasa cukup dengan apa yang telah Allah beri.

Kekayaan hati tumbuh dari sikap ridha kepada ketentuan Allah Ta’ala dan tunduk terhadap perintah-Nya, karena mengetahui bahwa apa yang di sisi Allah itulah yang lebih baik dan lebih kekal. Ia berpaling dari meminta-minta. Betapa bagusnya seorang yang berkata:

غِنَى النَّفْسِ مَا يَكْفِيْكَ مِنْ سَدِّ حَاجَةٍ
فَإِنْ زَادَ شَيْئًا عَادَ ذَاكَ الْغِنَى فَقْرَا
Kekayaan jiwa itu apa yang mencukupi kebutuhanmu
Jika lebih dari itu, maka kekayaan tersebut akan kembali menjadi kefakiran[9]

Lihatlah kehidupan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Shahabatnya Radhiyallahu anhum, beliau hidup di Madinah dalam keadaan miskin, padahal beliau adalah pemimpin para Nabi dan Rasul عَلَيْهِمُ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ. Demikian pula para Shahabat Radhiyallahu anhum banyak yang miskin, tetapi mereka menjadi sebaik-baik manusia setelah Nabi mereka, bukan karena harta dan kekayaan, tetapi karena iman, ilmu dan amal shalih.

Ummul Mukminin ’Aisyah Radhiyallahu anha berkata,

مَاشَبِعَآلُمُـحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُقَدِمَالْمَدِيْنَةَمِنْطَعَامِبُـرٍّثَلَاثَلَيَالٍتِبَاعًاحَتَّىقُبِضَ.

Keluarga Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah kenyang semenjak berpindah ke Madinah, dari makan gandum selama tiga malam berturut-turut sampai beliau wafat.”[10]

Orang miskin yang sabar, bertakwa, dan taat beribadah kepada Allah Ta’ala, maka ia adalah orang yang paling mulia. Orang yang tidak tahu keadaan mereka pasti menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya, karena mereka sabar dan menjaga diri, tidak meminta-minta kepada manusia.

Satu orang miskin yang bersabar (bertakwa) lebih baik daripada orang kaya yang tidak bersyukur (bertakwa) yang jumlahnya seisi dunia, walaupun orang lain banyak yang menghina orang miskin tersebut dan merendahkannya.

Dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi Radhiyallahu anhu, “… Kemudian lewat seorang laki-laki fakir dari  kaum Muslimin. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada para Shahabat, ‘Bagaimana pendapat kalian tentang orang (fakir) yang lewat tadi?’ Meraka menjawab, ‘Dia (orang Islam yang fakir), layak bila pinangannya ditolak, apabila minta pertolongan tidak ditolong, bila berkata tidak didengar.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هٰذَا خَيْرٌ مِنْ مِلْءِ الْأَرْضِ مِثْلَ هٰذَا.

Orang ini lebih baik daripada orang kaya itu sepenuh bumi semuanya.”[11]

Orang miskin yang sabar maka kesabarannya itu bisa menjadi sebab keselamatan agamanya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يُوْشِكُ أَنْ يَكُوْنَ خَيْرَ مَالِ الْمُسْلِمِ غَنَمٌ يَتْبَعُ بِهَـا شَعَفَ الْـجِبَالِ وَمَوَاقِعَ الْقَطْرِ ، يَفِرُّ بِدِيْنِهِ مِنَ الْفِتَنِ.

Hampir tiba waktunya sebaik-baik harta orang muslim ialah kambing yang digembalakannya di puncak gunung dan di lembah. Orang itu pergi menjauhi fitnah untuk menyelamatkan agamanya.”[12]

Apabila seseorang dikaruniakan oleh Allah Azza wa Jalla kesabaran dalam menghadapi hidup ini, apalagi ia sabar di atas kemiskinan, maka ini adalah sebuah nikmat dan karunia yang besar. Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu berkata, “Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

…وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ وَمَنْ يَسْتَغْنِ يُغْنِهِ اللهُ وَمَنْ يَتَصَبَّرْ يُصَبِّرْهُ اللهُ وَمَا أُعْطِيَ أَحَدٌ عَطَاءً خَيْرًا وَأَوْسَعَ مِنَ الصَّبْرِ.

“…Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya, maka Allah akan menjaganya, barang siapa merasa cukup, maka Allah akan mencukupinya, dan barangsiapa yang melatih dirinya untuk bersabar, maka Allah akan memberikan kesabaran kepada dirinya, dan tidak ada pemberian yang lebih baik dan lebih luas bagi seseorang dari pada kesabaran.”[13]

Do’a orang-orang yang miskin yang shalih dan taat sebagai sebab kaum Muslimin mendapatkan kemenangan dan pertolongan atas musuh-musuh Islam. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

هَلْ تُنْصَرُوْنَ وَتُرْزَقُوْنَ إِلَّا بِضُعَفَائِكُمْ؟

Bukankah kalian mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya orang-orang lemah dari kalangan kalian?[14]

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

إِنَّمَا يَنْصُرُ اللهُ هٰذِهِ الْأُمَّةَ بِضَعِيْفِهَا : بِدَعْوَتِهِمْ ، وَصَلَاتِهِمْ، وَإِخْلَاصِهِمْ.

Sesungguhnya Allah menolong ummat ini dengan sebab orang-orang lemah diantara mereka, yaitu dengan do’a, shalat, dan keikhlasan mereka.”[15]

Orang yang sabar di atas kemiskinan dan  menahan diri dari meminta-minta kepada orang lain, maka Allah Ta’ala akan menjaganya.

Sabar di atas kemiskinan dan menahan diri dari meminta-minta kepada manusia adalah salah satu sebab masuk surga. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ يَكْفُلُ لِـيْ أَنْ لَا يَسْأَلَ النَّاسَ شَيْـئًا وَأَتَكَفَّلُ لَـهُ بِالْـجَنَّةِ ؟ فَقَالَ ثَوْبَانُ : أَنَا. فَكَانَ لَا يَسْأَلُ أَحَدًا شَيْئًا.

Siapakah yang mau menjamin untukku untuk tidak meminta-minta sesuatu pun kepada orang lain, dan aku akan menjamin ia dengan Surga?’” MakaTsauban berkata, “Saya.” Maka dia tidak pernah meminta-minta sesuatu pun kepada orang lain.[16]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَلْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى ، وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُوْلُ ، وَخَيْرُ الصَّدَقَةِ عَنْ ظَهْرِ غِنًى ، وَمَنْ يَسْتَعْفِفْ يُعِفَّهُ اللهُ ، وَمَنْ يَسْتَغْنِـي يُغْنِـهِ اللهُ.

Tangan yang di atas lebih baik dari pada tangan yang di bawah. Dan mulailah dari orang yang menjadi tanggunganmu. Dan sebaik-sebaik sedekah  adalah yang dikeluarkan dari kelebihan harta yang dimilikinya. Barangsiapa menjaga kehormatan dirinya maka Allah akan menjaganya dan barangsiapa yang merasa cukup maka Allah akan memberikan kecukupan kepadanya.”[17]

Sungguh beruntung orang yang diberikan hidayah masuk ke dalam agama Islam, lalu diberikan rezeki yang cukup serta merasa qana’ah(puas) dengan karunia yang Allah Ta’ala berikan kepadanya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللهُ بِمَا آتَاهُ.

Sungguh beruntung orang yang masuk Islam, diberikan rezeki yang cukup, dan dia merasa puas dengan apa yang Allah berikan kepadanya[18]

Orang miskin yang sabar dan rajin beribadah kepada Allah Ta’ala, mentauhidkan-Nya, menjauhkan syirik, melaksanakan sunnah, menjauhkan bid’ah, selalu taat dan menjauhkan maksiat, maka mereka akan masuk surga terlebih dahulu daripada orang muslim yang kaya.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

يَدْخُلُ فُقَرَاءُ الْمُسْلِمِيْنَ الْـجَنَّـةَ قَبْلَ أَغْنِيَائِهِمْ بِنِصْفِ يَوْمٍ وَهُوَ خَمْسُ مِائَةِ عَامٍ.

Orang-orang faqir kaum Muslimin akan memasuki Surga sebelum orang-orang kaya (dari kalangan kaumMuslimin), (perbedaan lamanya) setengah hari, yaitu lima ratus tahun.”[19]

Kalau penulis sebutkan tentang keutamaan orang miskin yang sabar dan bertakwa kepada Allah, bukan berarti bahwa tidak boleh orang menjadi kaya. Di dalam Islam tidak ada larangan orang menjadi kaya, tetapi jangan sampai kekayaannya menyibukkan dia dari beribadah kepada Allah, jangan sampai melalaikan dia dari menuntut ilmu syar’i dan mengamalkannya.Dan jangan pula melalaikan dia dari mengingat Allah dan berdzikir kepada Allah Ta’ala.

Tentang Dalil bolehnya orang Islam menjadi kaya di antaranya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendo’akan seorang Shahabat beliau, Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, yang telah membantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam selama sepuluh tahun. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

اَللهم أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَبَارِكْ لَهُ فِيْمَا أَعْطَيْتَهُ.

Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berkahilah baginya dari rezeki yang Engkau karuniakan kepadanya.”[20]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

نِـعْمَ الْـمَالُ الصَّالِحُ لِلْرَّجُلِ الصَّالِحِ.

Harta yang terbaikialah yang dimiliki oleh seorang yang shalih.”[21]

Bersambung ke bagian 2
__________
[1] Shahih: HR.Muslim (no. 2999), Ahmad (VI/16), ad-Darimi (II/318), dan Ibnu Hibban (no. 2885—at-Ta’liiqaatul Hisaan), lafazh ini milik Muslim, dari Shahabat Shuhaib Radhiyallahu anhu.
[2] Madaarijus Saalikiin (II/461), cet. Daarul Hadits-Kairo.
[3] Ahkaamul Faqiirwal Miskiin (hlm. 31), DR. Muhammad ‘Umar Salim Bazmul.
[4] Al-Muhalla (VI/148, masalah no. 720).
[5] Ahkaamul Faqiirwal Miskiin (hlm. 35), DR. Muhammad ‘Umar Salim Bazmul.
[6] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 1479), Muslim (no. 1039 (101)), Abu Dawud(no. 1631), Malik dalam al-Muwattha’ (II/704 no.7), Ahmad (II/260, 316), Abu Ya’la (no. 6307), Ibnu Hibban (no. 3341-at-Ta’liiqaatul Hisaan), al-Baihaqi (no. VII/11), an-Nasa-i (V/85), al-Baghawi (no. 1602). Dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[7] Taisiirul Kariimir Rahmaanfii Tafsiiri Kalaamil Mannaan (hlm. 118), cet. Ke-4 Daar Ibnul Jauzi, th. 1431 H.
[8] Shahih: HR. Ahmad (II/243, 261, 315), Al-Bukhari (no. 6446), Muslim (no. 1051), dan Ibnu Majah (no. 4137), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[9] Fat-hulBaariSyarhShahiih al-Bukhaari(XI/272).
[10] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 5416) dan Muslim (no. 2970 (20)).
[11] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 5091, 6447-Bab FadhlilFaqr(keutamaan fakir)).
[12] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 19), dari Abu Sa’id al-Khudriy Radhiyallahu anhu.
[13] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 1469), dan Muslim (no. 1053), dari Abu Sa’id al-Khudriy Radhiyallahu anhu.
[14] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 2896), dariSa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu.
[15] Shahih: HR. An-Nasa-i (VI/ 45) dariSa’ad bin Abi Waqqash Radhiyallahu anhu.
[16] Shahih: HR. Abu Dawud (no. 1643), Ahmad (V/276), dan Ibnu Majah (no. 1837), dari Shahabat Tsauban Radhiyallahu anhu.
[17] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 1427), Ahmad (III/403, 434), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Kabiir (no. 3091, 3092, 3093), al-Qudha’i dalam Musnadasy-Syihab (no. 1228, 1229), dan al-Baihaqi (IV/177), dari Shahabat Hakim bin Hizam Radhiyallahu anhu. Dan Muslim (no. 1053 (124)), dari Shahabat Abu Sa’idal-Khudriy Radhiyallahu anhu.
[18] Shahih: HR. Muslim (no. 1054) dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu.
[19] Hasan shahih: HR. At-Tirmidzi (no. 2353, 2354) dan Ibnu Majah (no. 4122)dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu.
[20] Shahih: HR. Al-Bukhari (no. 6334, 6344, 6378, 6380) dan Muslim (no. 2480, 2481).
[21] Shahih: HR. Ahmad (IV/197, 202), ath-Thahawi (no. 6056, 6057- Syarh Musykilil Aatsaar), Ibnu Hibban (no. 1089-Mawaariduzh Zham-aan), ath-Thabrani dalam al-Mu’jamul Ausath (no. 3213), al-Hakim (II/236), al-Qudhaa’i dalam Musnad asy-Syihab (no. 1315), al-Baghawi (no. 2495), dan dalam Fadhaa-ilush Shahaabah (no. 1745), dan selainnya dari ‘Amr bin al-Ash Radhiyallahu anhu. Lafazh ini milik Ibnu Hibban dan ath-Thabrani.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/15111-keutamaan-orang-miskin-yang-sabar1.html